Penyakit sang Istri Mengantarkan ke Level Terhormat

Penyakit sang Istri Mengantarkan ke Level Terhormat

LANGIT seperti runtuh menimpa kepala Prof Dr Djoko Agus Purwanto Apt MSi kala itu. Dadanya seketika sesak, seakan ada benda besar yang menindihnya. ”Saya terkejut, kaget, dan shock,” katanya, mengenang peristiwa tujuh tahun silam.

Betapa tidak, awal 2007 sang istri, Andriani Primardiana, divonis menderita kanker. Status kankernya sudah stadium metastasis. Artinya, kanker tersebut sudah menyebar. Dokter memvonis usia belahan jiwanya itu tidak lama lagi.

Djoko pun sadar betul dengan vonis tersebut. Selama ini sekitar 95 persen penderita kanker stadium lanjut perlu keajaiban untuk sembuh. Artinya, vonis kematian siap diketok. Sebab, hanya 5 persen yang bertahan dan berhasil sembuh. Lima persen tentu bukan angka yang besar.

Lelaki 55 tahun tersebut tahu betul risiko yang dihadapi istrinya. Karena itu, sangat wajar Djoko terkejut sekaligus shock. Lelaki kelahiran Surabaya tersebut harus bersiap kehilangan perempuan yang sangat dicintainya itu.

”Tapi, ketika itu saya tak mau berlama-lama larut dalam kesedihan. Saya memohon kepada Tuhan agar istri masuk daftar yang 5 persen (bisa disembuhkan, Red),” ungkapnya.

Djoko percaya kuasa Tuhan. Sebab, manusia bukanlah pemilik kehidupan. Di titik itu pula, Djoko seakan mendapat ujian dari Tuhan. Ujian yang tidak sekadar ditujukan kepadanya sebagai manusia, namun juga mengarah ke sisi keilmuannya sebagai dosen.

Tuhan seakan ingin Djoko bisa membuktikan hasil penelitiannya secara konkret. Tidak sekadar berhenti di atas lembar disertasi atau praktik di laboratorium.

Kebetulan, jauh sebelum sang istri divonis menderita kanker, Djoko meneliti teh hijau untuk mencegah dan menyembuhkan kanker.

Penelitian tersebut dilakukannya mulai 1998. Hal itu merupakan bagian dari disertasinya ketika menempuh pendidikan program doktoral ilmu matematika dan ilmu pengetahuan alam di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.

Dua tahun berselang, berkat penelitian tersebut, Djoko mendapat gelar doktor. Meski telah bergelar doktor, penelitian teh hijau itu tidak berhenti. Bapak tiga anak tersebut terus menyempurnakan hasil penelitiannya.

Djoko pun mengklaim teh hijau hasil penelitiannya bisa digunakan untuk mencegah dan menyembuhkan kanker. Namun, hasil penelitian itu belum termanfaatkan dan hanya berkutat di laboratorium.

Nah, kanker yang menyerang istrinya seakan ”menampar” Djoko untuk membuktikan hasil penelitiannya. Di situlah ujian sesungguhnya datang. Ujian yang tidak hanya datang dari manusia, yakni para penguji di ruang sidang disertasi, tapi juga dari Sang Pencipta.

Djoko merasakan ”tamparan” tersebut. Karena itu, dia pun menampik tawaran dokter agar istrinya naik meja operasi. Dia memilih melakukan pengobatan secara logis dan ilmiah kepada istrinya. Teh hijau hasil penelitiannya menjadi obat penyembuhannya.

”Saat itu saya tangguhkan operasinya. Saya katakan kepada dokter bahwa saya akan mencoba pengobatan dengan teh hijau,” ceritanya.

Tentu Djoko tidak sekadar menangguhkan. Dengan latar belakangnya sebagai dosen farmasi di Unair, berbagai argumentasi ilmiah disodorkan. ”Saya sebutkan agar kita sama-sama melihat perkembangannya setelah istri mengonsumsi teh hijau,” ujar Djoko.

Jika perkembangannya semakin baik, belahan jiwanya tidak perlu dioperasi. Tapi, kalau kondisinya tetap sama atau bahkan memburuk, Djoko memberikan izin kepada istrinya untuk masuk ruang operasi.

Sejak keputusan diambil, Djoko pun rajin menyodorkan teh hijau hasil penelitiannya kepada sang istri. Bentuknya tentu saja berupa minuman. Sehari Andri –sapaan Andriani Primardiana– disodori tiga kali teh hijau. Pagi, siang, dan malam. Layaknya mengonsumsi teh pada umumnya.

Sang istri ternyata mengikutinya dengan tekun. Andri begitu rajin meminum teh hijau hasil penelitian suaminya. ”Alhamdulillah, kondisi istri saya kini sudah sangat baik. Sejak 2012 tidak pernah pingsan lagi,” sebut Djoko.

Kesehatan Andri saat ini memang sudah sangat baik. Bahkan, kini dia bisa menjalani aktivitas berhari-hari di luar rumah. Bukan saja di Surabaya, tapi juga di beberapa daerah. Misalnya, memberi pelatihan di Bojonegoro atau pendampingan masyarakat di Madura. Wajahnya juga tampak sangat cerah.

Padahal, beberapa tahun lalu, wajahnya sering kali terlihat pucat. Memang, perempuan asal Sidoarjo tersebut masih bisa menjalankan berbagai aktivitas, namun tubuhnya terlihat jelas tak bisa menyembunyikan keadaannya.

”Dulu habis berbincang dengan Sampeyan di Unair, saya langsung pingsan dan pulang dengan menggunakan masker oksigen. Tapi, alhamdulillah sekarang kondisi saya jauh lebih baik,” kata Andriani sembari mengingat pertemuannya dengan Jawa Pos pada 2011.

Teh hijau yang diteliti Djoko sebenarnya seperti umumnya ada di pasaran. Selain hasil dari perkebunan di daerah Malang, alumnus Fakultas Farmasi Unair tersebut meneliti berbagai jenis teh hijau aneka merek.

Teh hijau itu distandardisasi Djoko dengan penelitian di laboratorium. Tentu tidak sekali-dua kali penelitian. Namun, bertahun-tahun.

Dari situ, Djoko akhirnya menemukan formula bahwa teh hijau bisa mencegah dan menyembuhkan kanker. Teh menjadi pilihan karena Djoko menilai aktivitas antioksidannya sangat tinggi. Berbagai jurnal juga telah menjelaskan hal itu. Teh temuan Djoko memiliki antioksidan 100 kali lebih tinggi daripada vitamin C.

Teh hijau juga menjadi pilihan lantaran mudah didapat dan harganya terjangkau. Selain itu, teh bisa diminum terus-menerus. Nyaris tak ada orang yang tidak doyan teh.

”Ketika pagi disodori teh dan siangnya diberi lagi, pasti orang akan meminumnya. Bahkan, saat malam disodori lagi, juga pasti diminum. Teh itu tidak membebani,” paparnya.

Djoko menambahkan, teh tidak membebani karena rasanya memang enak dan menyegarkan. ”Beda dengan obat. Jika terus-menerus diberikan, orang pasti terbebani. Kalau teh, sekalipun itu obat, orang akan mengonsumsinya layaknya meminum teh seperti biasanya. Tidak ada beban sama sekali,” jelasnya.

Pria yang menjabat ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unair itu pun sudah membuktikan khasiatnya. Kesembuhan istrinya menjadi bukti. Karena itu pula, Djoko terus mengembangkan teh hijau sebagai obat herbal yang layak dimanfaatkan masyarakat.

Dari pengembangan penelitiannya, teh hijau juga bermanfaat untuk obat anti-HIV/AIDS dan TB. Hasil penelitian terbaru itu akhirnya mengantarkannya ke kursi terhormat di lembaga pendidikan: dikukuhkan sebagai guru besar. Pengukuhan tersebut dilangsungkan di Unair pada 29 November.

Gelar yang jelas tidak diperoleh dengan mudah. Selain menghadapi ujian istrinya yang divonis terserang kanker, Djoko muda harus banting tulang untuk bisa bersekolah.

Saat SD hingga SMP, sang guru besar itu berjualan koran dan menyemir sepatu di Stasiun Wonokromo.

Hidupnya juga dilewati di Terminal Joyoboyo. Seperti halnya di Stasiun Wonokoromo, di Joyoboyo Djoko juga mengais rezeki dengan berjualan koran dan menyemir sepatu. Uang hasil kerjanya digunakan untuk biaya sekolah.

”Meski tidak luput dari salah, bagi saya beliau adalah suami dan pendidik yang paripurna,” kata Andri yang jauh sebelum menjadi istri Djoko merupakan murid bimbingan belajarnya.

Lantaran berlikunya jalan yang dilewati, Djoko tidak ingin hasil penelitiannya berakhir di laboratorium setelah dimanfaatkan istrinya. Kini Djoko ingin memproduksi masal teh hijau yang sudah ditelitinya.

Untuk itu, Djoko menggandeng rekan-rekannya di Alfas (Alumni Fakultas Farmasi Unair di Surabaya) untuk memproduksi teh hijau tersebut.

Rencananya, ekstrak teh hijau itu diambil. Ekstrak tersebut berbentuk serbuk halus yang dikemas secara higienis.

”Kami nanti pasarkan ke wilayah Surabaya dan sekitarnya terlebih dahulu. Kami ingin apa yang saya teliti ini bisa membantu masyarakat untuk mencegah kanker, HIV/AIDS, dan mengobati TB,” jelas Djoko.

Share this post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *